Sinopsis
JANGAN UCAPKAN CINTA
Karya : Mira W
Novel ini menceritakan tentang
percintaan dan kebencian, seseorang yang begitu mencintai hingga berubah
menjadi dendam / sebuah kebencian.
Niken Ardini
adalah perempuan yang berasal dari keluarga biasa saja, ayahnya hanya seorang
pedagang kecil di pinggiran kota tegal, Niken anak ke 2 dari 3 bersaudara.
Kakak laki-lakinya meninggal ketika berumur tujuh tahun karena sakit dan
adiknya meninggal juga ketika berumur tiga minggu, sedangkan ibunya harus
kehilanggan rahimnya akibat pendarahan setelah melahirkan karena tidak di
tangani dengan baik oleh tenaga medis. Semenjak kejadian semua itu Niken
bertekat untuk menjadi seorang dokter, tetapi kesulitan ekonomi telah
menghambat cita-citanya. Dia hanya bias menjadi seorang perawat di sebuah
klinik dokter Eko Prasetio.
Dokter Eko mempunyai kakak yang bernama Aldi, dia berbeda sekali dengan adiknya, Aldi berbadan tinggi, tegap dan gagah sedangkan Dokter Eko badanya kurus dan berkacamata tebal. Niken bertemu dengan Aldi di tempat kerjanya, semenjak ketemu pada pandangan pertama Niken langsung jatuh cinta pada Aldi. Akan tetapi Niken sadar bahwa dia sudah mempunyai tunangan yang bernama Bambang.
Dokter Eko mempunyai kakak yang bernama Aldi, dia berbeda sekali dengan adiknya, Aldi berbadan tinggi, tegap dan gagah sedangkan Dokter Eko badanya kurus dan berkacamata tebal. Niken bertemu dengan Aldi di tempat kerjanya, semenjak ketemu pada pandangan pertama Niken langsung jatuh cinta pada Aldi. Akan tetapi Niken sadar bahwa dia sudah mempunyai tunangan yang bernama Bambang.
Hari demi hari
Aldi selalu bertemu dengan Niken dan menggodanya, akhirnya Niken memutuskan
petunangannya dengan Bambang dan memilih menikah bersama dengan Aldi. Walau pun
sudah menikah Aldi masih sangat mencintai pacarnya semenjak SMA yang bernama
Indah Juwita Purnama yang sangat cantik. Sedangkan Indah sudah memilih menikah
bersama dengan Roni seorang Sutradara yang membuatnya menjadi artis dan namanya
terkenal dimana-mana. Pertemuan Aldi dan Indah membuat perasaan mereka kembali
lagi, Aldi sangat mencintai Indah dan mengajak Indah untuk bersamanya tetapi
Indah tidak mau, Indah lebih memilih Roni dan kariernya sebagai seorang artis. Aldi
sangat terobsesi sekali dengan Indah sampai merubah bentuk tubuh istrinya yang
kurus menjadi berisi dan bagus, tatanan rambut dan segi berpakaian juga, tetapi
Niken tidak mengeluh dan menurut saja karena sangat mencintai suaminya sehingga
rela diapapun juga. Setelah hampir setahun menikah, Aldi bertemu lagi dengan
Indah, akhirnya Aldi meninggalkan Niken yang sedang mengandung anaknya dan
lebih memilih pergi jauh bersama dengan Indah. Bertahun-tahun sudah Aldi
meninggalkan Niken, dan sejak itu kesengsaraan selalu datang di kehidupannya.
Niken hidup seorang diri untuk menghidupi anaknya yang sedang sakit, karena
sangat miskin dan menderita sampai akhirnya anaknya meninggal karena sakit
keras yang tidak bisa diobati.
Semenjak anaknya
meninggal kehidupan Niken semakin hancur dan sengsara hingga menjadi depresi,
dan akhirnya masuk rumah sakit jiwa yang secara tidak sengaja ditangani oleh Dokter
Eko adik iparnya sendiri. Eko yang dari dulu sangat mencintai Niken tetapi
tidak menyatakannya dia selalu menemani Niken dan akhirnya merubah karakter
kepribadian Niken yang dulu lugu dan memelas menjadi wanita yang tegar dan
sadis hamper tidak memiliki lagi hati. Demi merubah setatus sosialnya akhirnya
Niken memilih menikah dengan Dokter Eko adik iparnya sendiri dan membuka
lembaran barunya menjadi pengusaha kaya yang terkenal sangat keras dan bengis. Seiring
waktu berlalu usaha Niken semakin maju dan menjadi semakin besar, tetapi Niken
masih menyimpan dendam pada Aldi dan Indah yang telah membuatnya menderita.
Suatu hari Niken
bertemu dengan Aldi dan Indah, semenjak itu Niken mempunyai rencana untuk
membalas dendam atas perlakuan mereka dengan membuat Indah menderita dan
menjadi gila, begitupun juga kepada Aldi, Niken melakukan hal yang sama dengan
membuat bangkrut perusahaannya. Karena Niken masih sangat mencintai Aldi
akhirnya mereka bersama lagi dan diketahui oleh Dokter Eko, karena
perselingkuhan itu Dokter Eko sangat marah dan akhirnya Dokter Eko berencana
untuk membunuh Niken. Rencana pembunuhan itupun terlaksana tapi Dokter Eko
salah sasaran sehingga yang terbunuh adalah Indah yang mempunyai kesamaan
bentuk tubuh dengan Niken. Dan akhirnya Dokter Eko masuk penjara dan menjadi
depresi karena terobsesi untuk membunuh Niken. Aldi dan Niken kembali bersama
dan memulai lembaran baru lagi bersama dengan anak Aldi dan Indah yang bernama
Bram. Wajahnya sangat mirip dengan anak Niken yang telah meninggal.
B. Unsur Intrinsik
1. Tema : Dalam novel “Jangan Ucapkan Cinta “ ini bertema CINTA DAN DENDAM yang menceritakan tentang percintaan yang isinya seorang wanita yang di kecewakan oleh suami yang menghiyanatinya.
2. Amanat :
• Kesetiaan hasus merupakan suatu
pondasi pada setiap hubungan.
• Janganlah membalas dendam karena
perbuatan yang sangat tidak baik.
3. Alur : Novel ini menggunakan alur maju dalam ceritanya.
4. Tokoh :
- Niken Ardini
Niken mempunyai dua karakter yang
pertama dia orangnya baik, lugu, cerdas, gesit dalam bekerja, dan baik hati.
Yang kedua setelah kejadian yang menimpanya sifatnya berubah menjadi sadis,
kasar, tegas, sombong, dan angkuh.
- Aldi prasetio
Aldi dia orangnya playboy, ganteng,
gagah, tinggi, dan suka menggoda wanita.
- Eko prasetio : Eko dia orangnya pendiam, baik, sopan, dan misterius
- Eko prasetio : Eko dia orangnya pendiam, baik, sopan, dan misterius
- Bambang pranoto
Bambang dia adalah seorang produser
sebush film yang sangat ternama sekaligus suami Indah juwita sifatnya keras,
sadis, tetapi baik loh.
- Indah juwita purnama
Indah seorang artis yang sedang naik
daun, diasangat canti dan menarik, wanita yang sangat di cintai oleh Aldi
tetapi dia isteri dari bambang
- Dimas :Adalah anak Niken dan Aldi
semasa hidupnya dia tak pernah melihat wajah ayahnya
- Roni jamal : Adalah seorang produser sekaligus
menjadi suami Indah.
- Tuti: bekeja di perusahaan Niken
- Bram : Anak dari Indah dan Aldi
5. Sudut Pandang :
Novel ini menggunakan nama seseorang
sehingga sudut pandangnya menggunakan orang ke 3.
6. Gaya bahasa :
6. Gaya bahasa :
Dalam penulisannya novel ini menggunakan
gaya bahasa yang biasa saja dan sederhana.
7. Latar :
7. Latar :
Latar pada novel “ Jangan Ucapkan Cinta
“ada pada beberapa tempat yaitu pada rumah, klimik, rumah sakit, kolam renang,
hotel, halaman rumah, perusahaan(kantor), dan Country Durham (hutan) Inggris.
C. Kutipan yang menarik
1. “Kata siapa saya tidak bias, mas?”
“Kamu bukan gay, kan?
Eko tertawa pahit.
“Kalo saya bukan playboy seperti mas-Al,
tidak berarti saya sakit, kan?” (hal:8)
2. “Pak Aldi memeng punya modal untuk itu.”
Modal untuk jadi playboy maksudmu? Wajah
ganteng, tubuh atletis, duit banyak? Kalau saja
kaummu tahu berapa banyak air mata yang
harus mereka korbankan untuk menebusnya!”
(hal:11)
3. Niken mempunyai cita-cita menjadi dokter, kedua saudaranya meninggal karena penyakit infeksi. Ibunya harus kehilangan rahimnya akibat pendarahan setelah melahirkan karena tidak
3. Niken mempunyai cita-cita menjadi dokter, kedua saudaranya meninggal karena penyakit infeksi. Ibunya harus kehilangan rahimnya akibat pendarahan setelah melahirkan karena tidak
ditangani dengan baik oleh tenaga medis.
(hal:13)
4. Tapi kesulitan ekonomi yang menghambat cita-citanya. Lulus SMA dia tidak mampu melanjutkan studi kefakultas kedokteran, walaupun IQ-nya 142 dan dia di terima difakultas kedokteran negeri.
4. Tapi kesulitan ekonomi yang menghambat cita-citanya. Lulus SMA dia tidak mampu melanjutkan studi kefakultas kedokteran, walaupun IQ-nya 142 dan dia di terima difakultas kedokteran negeri.
(hal:13)
5. Niken sangat menyukaipekerjaanya. Dedikasinya tinggi pengabdian total, sifatnya yang lugu dikombinasikan dengan otak yang encer dan sikap yang gesit, amat mendukung profesinya. (hal:14)
6. Jika cinta berarti kebodohan, saya tetap akan memilikinya, Dok. Daripada hidup dalam kegersangan tanpa cinta.
5. Niken sangat menyukaipekerjaanya. Dedikasinya tinggi pengabdian total, sifatnya yang lugu dikombinasikan dengan otak yang encer dan sikap yang gesit, amat mendukung profesinya. (hal:14)
6. Jika cinta berarti kebodohan, saya tetap akan memilikinya, Dok. Daripada hidup dalam kegersangan tanpa cinta.
(hal:49)
7. Eko mengawasi perawatnya dengan mata terbelalak gusar, urat-urat wajahnya menyumbul meredam ledakan kemarahan di dadanya.
7. Eko mengawasi perawatnya dengan mata terbelalak gusar, urat-urat wajahnya menyumbul meredam ledakan kemarahan di dadanya.
(hal:49)
8. “Kamu akan menyesal!” Desisnya seorang diri ketika Niken telah meninggalkan kamar prakteknya. “Air matamu akan runtuh sebanyak tetes-tetes cintamu! Suatu hari, akan kamu kutuki pertemuanmu dengan dia!”
8. “Kamu akan menyesal!” Desisnya seorang diri ketika Niken telah meninggalkan kamar prakteknya. “Air matamu akan runtuh sebanyak tetes-tetes cintamu! Suatu hari, akan kamu kutuki pertemuanmu dengan dia!”
(hal:49)
9. Bukan hanya marah, dia sakit hati, sekaligus dendam, labih-lebih saat suaminya meninggalkan dia sedang hamil.
9. Bukan hanya marah, dia sakit hati, sekaligus dendam, labih-lebih saat suaminya meninggalkan dia sedang hamil.
(hal:60)
10. Aku juga ingin membunuhnya dengan tanganku sendiri, piker Niken dengan mulut terkunci. Dia bukan hanya merusak hidupku , dia menghancurkan masa depanku!
10. Aku juga ingin membunuhnya dengan tanganku sendiri, piker Niken dengan mulut terkunci. Dia bukan hanya merusak hidupku , dia menghancurkan masa depanku!
(hal:61)
11. Sebagai seoran perawat Niken tahu sekali pentingnya giji yang baik untuk janin dalam kandungan, dia juga memerlukan vitamin, memeriksakan kandungan, membeli berbagai keperluan untuk bayinya. Dan semua itu harus di lakukannya seorang diri karena dia tidak punya suami!
11. Sebagai seoran perawat Niken tahu sekali pentingnya giji yang baik untuk janin dalam kandungan, dia juga memerlukan vitamin, memeriksakan kandungan, membeli berbagai keperluan untuk bayinya. Dan semua itu harus di lakukannya seorang diri karena dia tidak punya suami!
(hal:63)
12. Sementara itu kandungan semakin membesar tenaganya tidak sekuat biasa lagi, lebih cepat lelah, kegesitanya jauh berkurang karena harus membawa-bawa beban berat di perutnya dan suatu hari jatuh pingsan.
12. Sementara itu kandungan semakin membesar tenaganya tidak sekuat biasa lagi, lebih cepat lelah, kegesitanya jauh berkurang karena harus membawa-bawa beban berat di perutnya dan suatu hari jatuh pingsan.
(hal:64)
13. Niken tidak sanggup merawat anaknya di ICU karena itu Dimas hanya di taruh pada ruang isolasi. Duapuluhempat jam Niken menjaga anaknya terus-menerus, dia tidak tidur sekejap pun bahkan tidak makan sama sekali.
13. Niken tidak sanggup merawat anaknya di ICU karena itu Dimas hanya di taruh pada ruang isolasi. Duapuluhempat jam Niken menjaga anaknya terus-menerus, dia tidak tidur sekejap pun bahkan tidak makan sama sekali.
(hal:73)
14. “Tidak mungkin….! Dimas di sini..!Kemana lagi dia pergi kalau saya masih di sini? Sejak lahir dia tidak pernah pergi tanpa saya! Kmi tidak pernah berpisah.
14. “Tidak mungkin….! Dimas di sini..!Kemana lagi dia pergi kalau saya masih di sini? Sejak lahir dia tidak pernah pergi tanpa saya! Kmi tidak pernah berpisah.
(hal:74)
15. Jika dulu Niken masih memiliki Dimas laksana sebuah oase di padang gurunderita hidipnya, kini yang tersisa hanyalah panasnya dendam dan keringnya cinta di tengah-tengah kegersangan hidupnya……
15. Jika dulu Niken masih memiliki Dimas laksana sebuah oase di padang gurunderita hidipnya, kini yang tersisa hanyalah panasnya dendam dan keringnya cinta di tengah-tengah kegersangan hidupnya……
(hal:75)
16. Aku tidak boleh mati, Desis Niken tiap malam sebelum tidur, sambil mengawasi foto anak dan suaminya, aku masih punya hutang pada kalian…….!
16. Aku tidak boleh mati, Desis Niken tiap malam sebelum tidur, sambil mengawasi foto anak dan suaminya, aku masih punya hutang pada kalian…….!
(hal:78)
17. “Anaknya sakit?” Nada suara Niken
melunak.
“Dapat telepon mendadak dari
suaminya,bu.
Anaknya mendadak kejang-kejang, sudah
dua hari anak mbak Tuti darawat di rumah sakit bu…..”
(hal:85)
18. EMPAT PULUH RIBU?” Niken terbelalak kaget. “Mengapa begitu mahal? Resepnya untuk obat generic kan?”
18. EMPAT PULUH RIBU?” Niken terbelalak kaget. “Mengapa begitu mahal? Resepnya untuk obat generic kan?”
(hal:68)
19. “Pusing ya, saying?” Bisik Niken sambil meraba dahi anaknya.
19. “Pusing ya, saying?” Bisik Niken sambil meraba dahi anaknya.
“Ah, masih panas. Dia harus memperoleh
anti biotik itu secepatnya. Kalau tidak, panasnya tidak mau turun, atau turun
sedikit, lalu naik lagi.
(hal:71)
20.
Bab VII (Hal. 68-78)
Jangan Ucapkan Cinta
“EMPAT
PULUH RIBU?”Niken terbelalak kaget. “Mengapa begitu mahal? Resepnya untuk obat
generic kan?”
“Kebetulan
amoksilin generic-nya lagi kosong.” Sahut petugas di apotik itu acu taka cu.
“Kalau tidak mau di ganti yang sejenis, cari saja di apotek lain.” Dengan
jengkel niken merenggut kembali resepnya. Digendongnya anaknya yang baru
berumur dua tahun, yang sedang menangis lemah sambil merintih. Ketika dia
hampir melewati pintu apotik seorang pria berdasi memanggilnya dengan
ragu-ragu.Niken menoleh kaget. Dan matanya melebar ketika meliha t Bambang
tegak di hadapanya. Rapi, keren, bergaya eksekutif, lengkap dengan kemeja
tangan panjang, dasi, berkaca mata berbingkai emas dari merek terkenal, dan
tentu saja tas bantu dari kulit asli, yang harganya lima bulan gaji niken
sebagai perawat.
“Kamu niken, kan?” tegur bambang seperti tidak percaya dengan matanya sendiri. “Astaga, Nik! Kamu berubah sekali!” Nada suara Bambang memang tidak melecehkan. Tidak. Sama sekali tidak. Tapi bagaimanapun, Niken tak dapat mengusir perasaan rendah diri dari sudut hatinya.
Pasti tambah tua dan kurus, keluh Niken dalam hati. Hampir tiga tahun aku di jerat penderitaan…….
“Kamu niken, kan?” tegur bambang seperti tidak percaya dengan matanya sendiri. “Astaga, Nik! Kamu berubah sekali!” Nada suara Bambang memang tidak melecehkan. Tidak. Sama sekali tidak. Tapi bagaimanapun, Niken tak dapat mengusir perasaan rendah diri dari sudut hatinya.
Pasti tambah tua dan kurus, keluh Niken dalam hati. Hampir tiga tahun aku di jerat penderitaan…….
Dan
ketika melihat wanita muda yang keren dan cantik itu, tiba-tiba saja Niken
merasa minder. Dan tiba-tiba saja dia menyesal tidak memoles wajahnya dengan
make up sebelum berangkat tadi…….
Ah,
siapa yang ingat dengan segala macam make up? Dimas tiba-tiba kejang. Sudah
tiga hari memang dia demam.Dan Niken belum sempat membawanya ke dokter.
Dikiranya Cuma demam biasa, pusing, muntah, tidak mau makan, siapa sangka hari
ini dia kejang-kejang. Dan kejangnya lebih lama dari kejang demam biasa. Niken
membawa Dimas secepatnya ke rumah dokter Eko. Dan di sinilah mereka
sekarang…..ah, mengapa dia harus memilih apotek ini?Mengapa dia harus bertemu
dengan bambang……?
“Obatnya
sudah selesai, mas,” kata wanita muda yang dandanannya amat modis itu.
Perhiasan gemerlapan menyemarakkan penampilannya. “Yuk, pulang!”
“Kenalkan
dulu, Da, ini Niken, temanku,” Bambang menoleh kembali pada niken sambil
tersenyum bangga. “Ini istriku, Nanda.”
Nanda menoleh sekilas pada Niken. Tanpa memandang sebelah mata dia mengulurkan tangannya, sekedar membalas jabatan tangan Niken.
“Saya ke mobil dulu, mas,” kata Nanda sambil melemparkan sepotong senyum basa-basi pada Niken. Lalu tanpa menoleh lagi dia melangkah anggun ke mobilnya.
Tidak sengaja Niken menoleh keluar. Sebuah mobil merek terkenal. Seorang sopir berdiri di samping mobil, membukakan pintu untuknya.
“Bagaimana keadaanmu, Nik?” tanyanya pura-pura iba. “Ini anakmu? ”Ya,” Niken menghembuskan jawaban itu bersama hembusan napasnya. Anak siapa lagi Ditimang-timangnya Dimas yang masih merintih lemah. Ditepuk-tepuknya pantatnya dengan lembut. “Dia lagi sakit. Aku mesti buru-buru puang.”
“Boleh ku antarkan? Kamu nggak bawa mobil, kan? Tunggu, aku Tanya Nanda dulu ya.”
“Terima kasih. Tidak usah repot-repot. Sampe jumpa.”
Bergegas niken menggendong anaknya keluar Bambang masih memegangi pintu sambil mengawasinya.
“Bekas sahabatmu?”Tanya Nanda begitu Bambang masuk ke mobil
. “Teman lama,”sahut Bambang sambil menarik napas panjang. “Baru tiga tahun berpisah. Tapi rasanya dia sudah bertambah tua tiga belas tahun!”
“Seharusnya kamulah yang naik mobil itu, saying,” bisik Niken sambil mengecup pipi anaknya. Dia menggendong Dimas ke dalam bajae di depan apotik. “Tapi mama tidak menyesal memilih ayahmu. Suatu hari, kalau kamu sudah melihat papa, kamu pasti mengerti mengapa mama memilihnya.” Seperti mengerti kata-kata ibunya, Dimas mengeluh panjang. Dia memejamkan matanya dengan lesu, dan merintih sedikit.
“Pusing ya, saying?” Bisik Niken sambil meraba dahi anaknya.
“Ah, masih panas. Dia harus memperoleh anti biotic itu secepatnya. Kalau tidak, panasnya tidak mau turun, atau turun sedikit, lalu naik lagi.
Diam-diam Niken menyesali dirinya, tidak membawa Dimas ke dokter lebih cepat. Di kiranya Dimas hanya flu biasa, panas sedikit dan sakit leher rewel, tidak mau makan, lagi pula dia sibuk mengurus laporan kepada yang berwajib. Sudah tiga tahun suaminya menghilang tanpa kabar berita. Seharusnya dia sudah berhak mewarisi hartanya. Kalau dia dapat menjual rumah Aldi…barang kali dia dapat lepas dari kesulitan ekonomi yang telah menjeratnya selama ini! Niken sudah pengap sekali. Ingin buru-buru lepas dari beban berat yang menindih hidupnya.
Niken sudah berniat menjual rumahnya dan membawa anaknya pulang ke tegal. Dia akan mencoba mencari penghidupan berdua saja dengan Dimas di sana.
“Dan mama dapat memberimu kehidupan yang lebih baik, “Bisik Niken kepada anaknya dengan perasaan bersala. “Kamu berhak menikmati uang ayah mu, Dimas sayang. Hanya itu yang dapat di berikannya kepada mu.“
“ Tolong, Dok!” Tangis Niken di telepon. “ panasnya tidak mau turun, dan dia kejang lagi!. “Sebentar saya ke sana, “Sahut Eko datar.“ Saya sedang ada pasien “Apa tidak sebaiknya saya bawa ke rumah sakit saja, Dok? “Desah Niken cemas. “Saya takut Dimas kena meningitis!”
“Tunggu saya, “Perintah Eko tegas. “Kompres saja dulu, masukkan antikonvulsan melalui anusnya.
Tetapi ketika Eko muncul di rumah Niken sejam kemudian, kesadaran Dimas sudah mulai menurun. Petekia di kulitnya bertambah banyak. Bergegas mereka membawanya ke rumah sakit.
Dokter anak yang memeriksa Dimas di ruang gawat darurat menyetujui pendapat Niken, bahkan sebelum di lakukan punksi lumbal.
“Kemungkinan meningitis purulenta.”kata dokter itu dengan dahi berkerut. “Sebaiknya diinfus dulu sambil menunggu hasil lab.”
“Masi di rawat, Dok?” gumam Niken antara sedih dan bingung.
“Kalau sudah koma, bukan hanya di rawat dia harus masuk ICU!”
Tapi dari mana aku memperoleh biaya perawatannya? Piker Niken resah. Dia menoleh kearah Eko. Tepat pada saat dokter itu berpaling ke padanya. Tetapi Eko tidak berkata apa-apa. Dia hanya mengawasi Niken. Dan tidak seorang pun mengerti arti tatapanya.
Niken tidak sanggup merawat anaknya di ICU. Karna itu Dimas ditaru di ruang isolasi. Uluh empat jam Niken menjaga anaknya terus menerus. Dia tidak tidur sekejap pun. Bahkan tidak makan sama sekali. Niken membantu merawat, mengganti infuse, mengawasi mereka, memasukan obat ke dalam cairan itu. Memantau demamnya yang tidak kunjung turun. Mengganti kompres.
Niken bahkan tidak henti-hentinya berdoa dan mengajak Dimas berbicara. Meskipun Dimas tidak bereaksi sama sekali. Dia masi tetap dalam keadaan koma, dan tidak seorang pun sanggup membangunkanya. Tidak juga orang yang paling di sayanginya satu-satunya orang yang paling dekat dengannya sejak lahir.
“Bangun dong, sayang.” Bisikannya lirih. “Mama kesepian sekali. Sama siapa mama harus ngomong kalau bukan sama Dimas? Bangun, ya? Nanti mama dongengin si kancil lagi, baru Dimas boleh tidur lagi….”
Tetapi yang maha kuasa berkehendak lain. Demam Dimas tidak kunjung turun. Dan kesadaranya pun tak kunjung puih. Dimas meninggal tanpa memperoleh kesadaranya kembali.
Niken seorang perawat senior dia sudah sering melihat kematian. Sudah sering mendampingi pasien yang hamper meninggal. Dia selalu tau dengan persis kapan waktu kematian pasien itu.
Tetapi ketika anaknya sendiri meninggal, Niken hamper tidak menyadarinya. Dia tidak percaya Dimas telah meninggal kannya.
“Tidak mungkin !” Bantahnya ketika dokter memegang tangannya dan menggelengkan kepalanya dengan murung. “Tidak mungkin!Dimas masi di sini! Ke mana lagi dia pergi kalau saya masih di sini? Sejak lahir, dia tidak perna pergi tanpa saya! Kami tidak pernah berpisah!”
Ketika dokter itu diam termangu, ketika Niken melihat Dimas-nya diam saja walaupun Niken mengguncang-guncang tubuhnya, dai menubruk kaki dokter Eko, meratap sambil memohon pilu.
“Tolong saya Dok! Tolong! Bangunkan Dimas! Jangan biarkan dia pergi! Kami tidak pernah berpisah!”
Tapi sekarang mereka harus berpisah. Niken harus meninggalkan anaknya seorang diri dalam liang lahatnya yang gelap dan sempit. Orang tua nya memaksa membawanya pulang. Walau pun Niken ingin terus mendampingi buah hatinya sementara Eko tak mampu menolongnya. Dia hanya tegak mematung di tepi liang lahat, mengawasi Niken yang sedang menangis dalam rangkulan ibunya.
“Saya ingin tetap di sini!” Tangis Niken getir.“ Saya tidak boleh meninggalkan Dimas! Tidak mau! Tidak mau!”
Sambil meraung Niken merontah ingin menyeburkan dirinya ke dalam lubang kubur. Untung ayahnya masih cukup sigap mendekapnya.
“Mari kita pulang, Nik.” Humam ayahnya dengan air mata berlinang. “Tak ada lagi yang dapat kita lakukan untuk Dimas…. Kita harus meninggalkanya beristirahat dalam damai di sini….”
Dengan siapa Dimas di sana? Kemana dia harus mencari ibunya kalau lapar? Kalau kedinginan! Kalau ketakutan!
“Dimas tidak akan pernah merasakan semua itu lagi, Nik.” Hibur ibunya dengan suara tersendat” Sekarang tak ada lagi penderitaan, rasa sakit, ketakutan….”
Mungkin benar Dimasnya tak akan pernah merasakan penderitaan lagi… Karena semua penderitaan itu kini telah menjadi milik Niken!
Jika dulu Niken memiliki Dimas laksana sebuah oase di padang gurun derita hidupnya, kini yang tersisa hanyalah panasnya dendam dan keringnya cinta di tengah-tengah kegersangan hidupnya…. “Niken tidak gila,” kata Eko mantap di depan orang tua perawatnya. “Dia hanya mengalami depresiberat akibat kehilangan anaknya. Tetapi untuk mencegah kelainan jiwa yang lebih berat, sebaiknya Niken dirawat.”
“Dirawat?” desis ibunya separo panik. “Di rumah sakit… jiwa ?”
“Jika depresinya tidak semakin berat, Niken dapat berobat jalan ke klinik saya. Kebetulan saya sedang mengambi spesialisasi ilmu jiwa. Percayalah, Bu. Karena itu dia harus segera di beri obat-obat anti depresi, sekaligus spikoterapi.”
“Apakah tidak sebaiknya kami bawa dia pulang, Dok?” Selah ayah Niken murung. “Di rumah, ada istri saya yang bias selalu mengawasimya.”
“Tapi di sini ada saya yang dapat mengobatinya engan lebih baik,” Sahut Eko tegas.
Sesaat ayah dan ibu Niken mengawasi dokter itu dengan bimbang. Terus terang, mereka khawatir meninggalkan anaknya seorang diri di Jakarta. Tetapi ada sesuatu di mata dokter itu yang membuat perintahnya sukar di tolak.
“Kalau begitu biar istri saya tinggal di sini untuk sementara waktu, Dok gumam ayah Niken berat. “Biar dia menemani Niken selama berobat.”
“Ok.” Eko mengangkat bahu. “Ini resep obat yang harus di beli . Selamat siang,”
Eko mendengarkan dengan penuh gairah seluruh kisah masalalu Niken. Dia sedang melakukan spikoanalisa. Niken berbaring santai di sofa. Sementara Eko duduk di kursi, Di dekat kepala Niken.
Sudah beberapa kali mereka melakukan spikuanalisa seperti ini. Dan semakin lama, bukan hanya Niken yang merasa semakin lega. Eko pun merasa semakin terlibat.
Niken merasa lebih baik karena dapat menumpahkan semua problem yang terpendam di alam bawa sadarnya. Sementara Eko merasa semakin semangat untuk menggali lebih dalam lagi.
Penderitaan pasiennya saperti bumbu penyedap dalam sebuah buku cerita. Eko sangat menikmatinya. Makin berat penderitaan yang di paparkan Niken,makin bergairah pula Eko mendengarkan kisahnya.
Beberapa kali dia menghipnotis pasiennya. Menggali kejadian-kejadian yang dalam keadaan sadar tak dapat di ungkapkan Niken. Dan sebagian besar kejadian itu, menyangkut hubungan Niken dengan Aldi.
“Kamu masih mencintainya?”
“Saya tidak dapat melupakanya.”
“Kamu tidak boleh melupakannya. Tapi kamu harus berhenti mencintainya. Dia telah menghianati mu. Selama kamu masih mencintainya, kamu akan tetap menderita.”
“Rasanya saya ingin mati saja. Saya ingin menyusul Dimas. Ingin menemaninya….”
“Kamu tidak boleh mati, Niken,.. berulang-ulang Eko menekankan kalimat itu setiap kali dia mengakhiri terapinya. “Kamu masih punya utang yang belum terbayar lunas!”
Sesudah menjalani spikoterapi selama hamper dua tahun, Niken berubah total. Tak ada lagi perawat lugu yang memelas merudung penderitaan. Yang tampil kini adalah seorang wanita yang tegar. Yang hamper tidak memiliki lagi hati dan emosi.
Aku tidak akan mati, desis Niken setiap malam sebelum tidur, sambil mengawasi foto anak dan suaminya. Aku masih punya utang dapa kalian!
Kutipan ini menceritakan tentang :
• perjuangan seorang ibu yang mempertahankan anaknya supaya sembuh dari sakitnya.
• Perjuangan seorang isteri dan anak yang di tinggalkan oleh suaminya begitu saja.
• Kesedihan seorang ibu yang ditinggal mati anak satu-satunya sehingga menjadi gila.
• Menurut saya pada bab ini sangat menarik sekali, ketika saya membacanya sampe menangis karena sangat terharu.