Pendidikan merupakan tiang pancang kebudayaan
dan pondasi utama untuk membangun peradaban bangsa. Kesadaran akan arti penting
pendidikan akan menentukan kualitas kesejahteraan lahir batin dan masa depan
warganya. Oleh karena itu substansi pendidikan, materi pengajaran dan
metodologi pembelajaran, serta manajemen pendidikan yang akuntabel susah
seharusnya menjadi perhatian bagi para penyelenggara Negara. Terbukti
bahwa seluruh bangsa yang berhasil mencapai tingkat kemajuan kebudayaan dan
teknologi tinggi mesti disangga oleh kualitas pendidikan yang sangat kokoh.
Namun eksistensi pendidikan yang ada di
Indonesia pada saat ini masih menjadi permasalahan karena masih banyak anak
bangsa yang belum mendapatkan pendidikan yang sebagaimana mestinya dan ada juga
yang sama sekalipun belum pernah mencicipi bangku sekolah sama sekali
contoh kecilnya saja anak yang terlantar hal ini sangat memperihatinkan.
Sebenarnya mereka juga mempunyai hak yang sama seperti anak-anak yang sudah
mendapat pendidikan yang layak seperti contoh anak orang kaya. Arah bangsa
nantinya ada pada tangan mereka karena merekalah nantinya yang akan menjadi
penerus perjuangan bangsa. Dan di beberapa daerah juga masih banyak
gedung sekolah yang tidak layak untuk digunakan. Selain gedung sekolah, ada
juga beberapa daerah yang kekurangan tenaga untuk mengajar.
Seperti yang telah kita ketahui, kualitas
pendidikan di Indonesia semakin memprihatinkan. Hal ini terbukti dari kualitas
guru, sarana dan prasarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentunya
mempunyai harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya.
Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten dan kurang profesional. Banyak orang
yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana.
Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru.
Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman. Yang dalam
mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika
fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan
hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.
Sarana dan prasarana pembelajaran juga turut
menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi
penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang
tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai
untuk hidup dan kerja mereka. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak
belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya disebabkan kurang
adanya guru dan sekolah.
Presiden
memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka
meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu:
v Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni
meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di
Indonesia. Tolak ukurnya dari angka partisipasi.
v Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses
pendidikan, seperti ketidakmerataan di desa dan kota, serta jender.
v Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan
meningkatkan kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata
kelulusan dalam ujian nasional.
v Langkah keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis
pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan
tenaga siap pakai yang dibutuhkan.
v Langkah kelima, pemerintah berencana membangun
infrastruktur seperti menambah jumlah komputer dan perpustakaan di
sekolah-sekolah.
v Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran
pendidikan.
v Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi
dalam aplikasi pendidikan.
v Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin
untuk bisa menikmati fasilitas penddikan.
Dalam
kenyataannya, langkah-langkah yang dipaparkan oleh presiden masih belum
terealisasikan dengan seutuhnya dalam pendidikan di Indonesia.
Di bawah ini akan
diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara
umum, yaitu:
1. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang
efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat
belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang
diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer)
dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran
tersebut dapat berguna.
Efektifitas
pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan
penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya
tujuan pendidikan yang jelas sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal
ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan
dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses
pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan
efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak
tahu apa tujuan kita.
Selama ini,
banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi
formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli
bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah
melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh
masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas
pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan
dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai
bakat dan minatnya bukan hanya ingin dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan
di sekolah menengah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang
sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas
pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti
program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang
banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah
pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.
2. Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisien adalah
bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih
‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan
untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal
itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang
mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang
telah disepakati.
Beberapa masalah
efisiensi pengajaran di Indonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang
digunakan dalam proses pendidikan, mutu pengajar dan banyak hal lain yang
menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga
berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.
Masalah mahalnya
biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita. Sebenarnya
harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah jika kita bandingkan dengan
Negara lain yang tidak mengambil sistem free cost education. Namun
mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami
kemukakan di sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan
untuk biaya pendidikan.
Jika kita
berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tentang biaya
sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain
yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti
buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai
ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri kita, memang
sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran seeperti DANA BOS, namun yang
diperlukan peserta didik bukan hanya itu saja, melainkan kebutuhan lainnya
seperti buku teks pengajaran atau buku paduan, alat tulis, seragam dan lain sebagainya.
Dan hal itu diwajibkan oleh pendidik yang bersangkutan. Yang mengherankan lagi,
ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan
bayaran untuk pendidik tersebut. Itu juga merupakan masalah bagi peserta didik.
Selain masalah
mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu
pengajaran. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah
yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai
pukul 16.00. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena memerlukan banyak waktu
untuk peserta didik mengikuti proses pendidikan formal. Selain itu, banyak
peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les
akademis, bahasa, ekstrakuriler, dan lain-lain. Jelas terlihat, bahwa proses
pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya
mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai
kurang.
Masalah lain dari
efisiensi pengajaran adalah mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar juga yang
menyebabkan peserta didik kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya
mengambil pendidikan tambahan yang juga membutuhkan biaya lebih. Kurangnya mutu
pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya atau
tidak pada keahliannya. Misalnya saja, seorang pengajar yang mempunyai dasar
pendidikan di bidang matematika, namun dia mengajarkan kesenian yang sebenarnya
bukan kompetensinya. Hal tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi
pendidikan di lapangan yang sebenarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat
mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga tidak mudah dimengerti
dan tidak membuat tertarik peserta didik.
Sistem pendidikan
yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi pendidikan di
Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah sehingga
membingungkan pendidik dan peserta didik.
Dalam beberapa
tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994,
kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang mengubah proses pengajaran
menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika
mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar
harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah biaya pendidikan.
Sehingga sangat disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang
dianggap kurang efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang
dinilai lebih efektif.
Konsep efisiensi
akan tercipta jika keluaran atau output yang diinginkan dapat
dihasilkan secara maksimal dengan hanya menggunakan masukan yang relative
tetap, atau jika dengan masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan
keluaran atau output yang maksimal. Konsep efisiensi sendiri
terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis
diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan
ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika
ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.
Konsep efisiensi
selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas merupakan bagian dari konsep
efisiensi karena tingkat efektivitas berkaitan erat dengan pencapaian tujuan
relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka
suatu program pendidikan yang efisien cenderung ditandai dengan pola penyebaran
dan pendayagunaan sumber-sumber pendidikan yang sudah ditata secara efisien.
Program pendidikan yang efisien adalah program yang mampu menciptakan
keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan
sehingga upaya pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.
3. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika kita ingin
meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang
standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses
untuk menentukan standar yang akan diambil.
Dunia pendidikan
terus berubah seiring dengan perubahan zaman. Kompetensi yang dibutuhkan oleh
masyarakat terus-menertus berubah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam
dunia modern dalam era globalisasi saat ini. Kompetensi-kompetensi yang harus
dimiliki atau dipenuhi oleh seseorang dalam suatu lembaga pendidikan haruslah
memenuhi standar. Dan Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di
dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk
melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi
Nasional Pendidikan (BSNP).
Tinjauan terhadap
standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan akhirnya
membawa bahaya yang tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang
terkepung oleh standar kompetensi saja sehingga kehilangan makna dan tujuan
dari pendidikan tersebut.
Peserta didik di
Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaimana agar mencapai standar pendidikan
saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan.
Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai
yang diperoleh, yang terpenting adalah memenuhi nilai di atas standar yang
telah ditentukan saja.
Hal seperti di
atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna saja
karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab
rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
Selain itu, akan
lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di
Indonesia sudah sesuai ataukah belum. Misalnya dalam kasus UAN atau Ujian Akhir
Nasional yang hampir selalu menjadi kontroversi. Penilaian sistem evaluasi
seperti UAN sudah cukup baik, namun yang disayangkan adalah evaluasi pendidikan
seperti itu yang menentukan lulus atau tidaknya peserta didik mengikuti
pendidikan yang hanya dilaksanakan satu kali saja tanpa melihat proses yang
telah dilalui oleh peserta didik yang telah menempuh proses pendidikan selama
beberapa tahun. Selain hanya berlangsung satu kali, evaluasi seperti itu hanya
mengevaluasi beberapa bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain
yang telah didikuti oleh peserta didik.
UAN dinilai
merupakan sistem yang kurang tepat. Tak bisa dipungkiri, sistem pendidikan di
negara ini terbilang masih kacau. Hal ini bisa dilihat dari hasil dari sistem
tersebut, dimana masih belum bisa memaksimalkan potensi-potensi yang dimiliki
oleh setiap siswa. Siswa yang pintar hanya dalam semua mata pelajaranlah dan
sering mendapatkan nilai tertinggilah yang menjadi patokan apakah siswa
tersebut memenuhi keriteria dari sistem tersebut. Tentunya hal ini tidaklah
adil bagi seluruh siswa. Siswa dengan berbagai karakter dipaksa mengikuti
sistem dan cara belajar yang sama. Padahal tidak semua siswa memiliki satu
jenis cara mereka dalam menyerap ilmu. Yang selama ini kita lihat di
sekolah-sekolah, guru menerangkan, murid mendengar lalu latihan. Metode ini
dianggap sudah ketinggalan zaman dan terlalu kaku. Dan yang paling fatal mudah
sekali menghilangkan minat belajar pada siswa. Memang ada beberapa karakter
siswa yang bisa atau malah mudah dengan metode belajar seperti itu, namun
sekali lagi tidak sedikit pula siswa yang tidak bisa menyerap materi pelajaran
dengan metode seperti itu karena itu tadi perbedaan karakter dan ditambah pola
pendidikan berbeda yang diterapkan oleh orang tua masing-masing siswa. Perlu
diketahui bahwa metode belajar setiap manusia berbeda-beda sesuai dengan
karakter mereka, ada tipe belajar secara visual, lingual, pendengaran,
analisis, debat, individu, kelompok dan lain-lain. Untuk itu ada baiknya
sistem pendidikan yang seperti itu diubah yaitu dengan menganalisis kebutuhan
belajar serta metode belajar yang tepat bagi siswa sebelum siswa tersebut masuk
ke jenjang sekolah, lalu mengelompokan siswa ke beberapa kelompok sesuai dengan
kebutuhan dan metode belajar yang dapat diterima siswa. Dengan begitu
potensi-potensi yang dimiliki oleh setiap siswa dapat tergali lagi dengan
maksimal.
Banyak hal yang
menyebabkan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia. Tentunya hal tersebut dapat
kita ketahui jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga
jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki kualitas
pendidikan di Indonesia sehingga menjadi lebih baik lagi.
Selain beberapa
penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini akan dipaparkan
pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas
pendidikan di Indonesia.
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana
fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya
rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak
lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi
tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki
gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan
sebagainya.
Menurut detik
news (2009), Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD
terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258
ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12%
berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak
201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan
angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada
umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan
persentase yang tidak sama.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di
Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki
profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut
dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan
pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja,
sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase
guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan
pendidikan sebagai berikut : untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri)
dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA
65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49%
(negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan
mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data
Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya
13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari
sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma
D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru
57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari
181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan
S3).
Walaupun guru dan
pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi,
pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin
kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas
pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang
rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya
kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan
Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada
pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp
3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5
juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp
10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru
terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain,
memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang
buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU
Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan.
Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu
disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai,
antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan
profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan
tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak
atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan
kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di
lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf
ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403
PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan
dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan
yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan
guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal
pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia
internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study
(TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44
negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam
hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa
Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal
prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme
(UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara
serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development
Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi
ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja,
posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala
internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA
(Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di
Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada
peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong),
74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak
Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata
mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan
penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan
mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil
studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999
(IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa
SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk
Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77
universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di
Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan
memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang
Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama
tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada
tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk
kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu
54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih
sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan
menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu
diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk
mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut
dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang
dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang
dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT
sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja
cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan
15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta
anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan
masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil
pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya
kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik
memasuki dunia kerja.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan
bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya
biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan.
Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi
(PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak
bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK
dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000.
Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1
juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya
biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang
menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya
lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu,
Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan
adanya unsur pengusaha.
Asumsinya,
pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite
Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan
Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan,
karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah
orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya
menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi
legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan
pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan
lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP).
Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas
memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status
itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan
warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi
Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan
MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN
sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan
Tinggi favorit.
Privatisasi atau
semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari
tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar
negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan
faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap
pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong
hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005
hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk
membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN. Rencana Pemerintah
memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan
Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP
tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya,
terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan
pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk
badan hukum pendidikan.
Seperti halnya
perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam
operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ),
Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi
pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan
dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan
begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya
penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya
setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses
rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi
dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang
kaya dan miskin.
Hal senada
dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi
pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama
oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang
Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi
pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan
(BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh
sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat
tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik
Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu
harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis,
Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi
yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang
menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan
berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau
gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah
sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh
pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan
yang berkualitas. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah
dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan
bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
D. Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Menurut Prof. Dr.
Made. Pidarta (2004), untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis
besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, solusi
sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan
dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan
dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang
ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab
neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung
jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi
untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan
seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya
pendidikan berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat
kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem
ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan
dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintahlah
yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, solusi
teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung
dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru
dan prestasi siswa.
Maka, solusi
untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk
meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di
samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan
membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi,
meningkatkan keprofesionalan guru, meningkatkan kompetensi-kompetensi yang
dimiliki guru dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas
guru. Misalnya rendahnya prestasi siswa diberi solusi dengan meningkatkan
kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga,
sarana dan prasarana pendidikan, dan sebagainya.
Pendidikan
merupakan hak setiap warga negara, namun masih ada beberapa dari mereka
yang belum mendapatkan hak tersebut. Hingga saat ini, peluang terbesar untuk
memperoleh akses pendidikan yang baik hanya anak orang kaya dan pintar. Dengan
bermodalkan kemampuan ekonomi yang lebih dari cukup, didukung dengan kemampuan
berpikir tinggi, menjadi faktor pendukung untuk memperoleh akses pendidikan
yang lebih baik. Mereka berpeluang besar memasuki sekolah-sekolah elit,
berkualitas, berstandar nasional, bahkan internasional. Hal ini menciptakan
lingkungan belajar-mengajar yang kondusif, karena ditunjang dengan kualitas
anak didik yang punya daya pikir tinggi. Selain itu, tersedianya sarana
prasarana yang lengkap membantu untuk mewujudkan pendidikan yang mapan. Pada saat
sekarang pendidikan yang ada di Indonesia berbentuk sistem pasar yaitu bagi mereka
yang memiliki uang banyak maka mereka akan mendapatkan pendidikan yang
layak.sebenarnya hal tersebut tidak boleh terjadi.
Berbicara tentang pendidikan ini Dalam UUD pasal
31 ayat 1 dan 2 sudah jelas yaitu bahwa setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan, wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya, negara juga mempriorotaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD. Pertanyaanya, sudahkah semua
anak bangsa mendapatkan haknya? Melihat fakta saat ini, di Indonesia setiap
tahunnya lebih dari 1,5 juta anak sekolah tidak melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi.
Daftar Pustaka :
- · https://ikasp.wordpress.com/2012/12/28/faktor-faktor-penyebab-rendahnya-kualitas-pendidikan-di-indonesia/
- · http://edukasi.kompasiana.com/2013/12/09/kondisi-pendidikan-bangsa-indonesia-616926.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar